Kalau bicara mengenai desain bangunan bertingkat rendah (low rise) tentu berbagai pengaturan tentang pengudaraan alami, pencahayaan alami dan desain bangunan dengan teritis lebar sudah cukup bisa memecahkan masalah penghematan energi.
Tapi, bagaimana kalau bangunan tersebut adalah bangunan tingkat tinggi (high rise) atau bangunan yang memerlukan ketertutupan, seperti gedung perkantoran atau rumah tinggal di tengah kota berpolusi tinggi?
Menurut standar LEED, seperti pada posting sebelumnya, beberapa kriteria penghematan energi ada 69 aspek yang diukur dari mulai efisiensi energi listrik, penghematan air hingga pembuatan tempat parkir sepeda.
Secara umum, berdasarkan pengalaman saya, penghematan di Indonesia diutamakan pada efisiensi listrik. Mungkin karena Indonesia secara iklim sering hujan, sehingga penghematan air di nomor duakan.
Terutama untuk bangunan komersial seperti kantor dan pertokoan, penggunaan listrik pada bangunan terbesar adalah untuk Pencahayaan dan Pengaturan Suhu dalam Ruangan. Secara logis, apabila pengaturan Pencahayaan dan Pengaturan Suhu menyesuaikan secara otomatis dengan kebutuhan maka penghematan listrik dapat terjadi.
Contoh:
- Apabila seseorang memasuki suatu ruangan, lampu menyala otomatis dan AC menyesuaikan diri agar memberikan suhu yang nyaman.
- Apabila orang yang masuk ruangan berjumlah cukup banyak sehingga kebutuhan pencahayaan dan AC juga lebih banyak (seperti pada ruang kerja bersama dalam suatu kantor) secara otomatis lampu dan AC juga mengatur diri agar memberikan pencahayaan lebih banyak dan bekerja lebih keras untuk pendinginan karena suhu tubuh orang-orang yang masuk tadi tentu akan meningkatkan suhu ruangan tersebut.
ILUSTRASI
hal diatas dimungkinkan dengan sensor okupansi (occupancy sensor) yang dihubungkan dengan termostat dan dimmer lampu melalui sebuah prosesor otomatisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar